Dalam Cerita Samasta Lara

Chapter II – ‘Biang Lara’

"Jangan biarkan luka lama menuntut maaf dari mereka yang tak peduli. Pulihlah, bukan dengan menunggu, tapi dengan memaafkan diri sendiri sepenuh hati."




═════════•★•═════════

Radiksa duduk di meja belajar, dikelilingi tumpukan buku sastra dan catatan kuliah berserakan. Pada usia 22 tahun, seharusnya ia menikmati masa-masa terakhir kuliah dengan semangat. Namun kenyataannya, ia terperangkap dalam kebingungan dan kehampaan. Setiap hari, ia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri, terjebak dalam perasaan kesepian yang mendalam.

Di balik jendela, langit malam tampak gelap tak ada bintang, hanya hamparan hitam yang menghimpit perasaan. Hujan turun perlahan, menciptakan irama monoton, menambah kesendirian. Cahaya lampu meja memantulkan bayangan samar buku terbuka di tangan, tapi pikirannya mengembara jauh ke masa lalu, melayang terjerat dalam kenangan yang menghantui.

Satu kenangan tak terlupakan bagi Radiksa adalah kecelakaan itu, detik-detik tragis yang merenggut nyawa ibunya—sebuah luka yang tak akan pernah sembuh.

Langit sore mendung kala itu, menambah kelam suasana. Dari kejauhan, Radiksa melihat sebuah mobil melaju begitu cepat, seperti anak panah yang dilepaskan tanpa kendali. Ketika mobil itu menabrak tubuh ibunya yang tengah melintas di jalan raya, suara hantamannya menggema, memecah hiruk-pikuk kota. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, hanya ada suara hati yang menjerit sakit terjebak dalam kekosongan.

Radiksa mencoba berlari, tetapi tubuhnya seolah membeku, dihantam beban tak kasatmata. Kakinya berat seperti tertanam di tanah. Ia ingin berteriak, namun tenggorokannya tercekat, membiarkan napasnya terengah-engah tanpa suara. Ketika akhirnya berhasil melangkah, ia terhenti beberapa meter dari ibunya yang tergeletak tak berdaya, darah mengalir membentuk genangan merah, menyayat pandangannya. 

Mobil itu berhenti sejenak, tak lama kemudian pengemudinya justru menekan gas, melarikan diri meninggalkan Radiksa yang terpuruk dalam kepedihan. Dunia mendadak berputar lambat, seperti adegan film yang dihentikan di tengah jalan. Akan tetapi, luka yang ia rasakan nyata, menghujam sampai ke relung terdalam hatinya.

Wajah ayahnya, Bima, tiba-tiba muncul di dalam ingatan—penuh amarah tak terukur dan penyesalan yang mengiris.

"Kamu yang seharusnya ada di sana, bukan ibumu!" teriak Bima, suaranya mengguncang seluruh tubuh Radiksa. Kata-katanya membekas dalam jiwa, merobek rasa percaya diri yang pernah ia miliki.

Sejak saat itu, Radiksa merasa bahwa ayahnya tak lagi melihatnya sebagai anak, melainkan sebagai beban yang membelenggu. Sebuah luka yang dalam, tak pernah sembuh, terus menggerogoti setiap langkah hidupnya.

Telepon berbunyi, menarik Radiksa keluar dari lamunan panjangnya. Nama Oma Mikaila muncul di layar, dan seketika itu juga ada perasaan hangat menyelimuti hatinya. Di tengah dunia yang terasa semakin asing dan jauh, setidaknya ada satu orang yang peduli padanya. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat telepon itu, berharap menemukan secercah kedamaian.

"Aa, bisa pulang dulu?" tanya Oma Mikaila, suaranya terdengar penuh harap, nyaris seperti permohonan. 

"Ada yang ingin Oma bicarakan," tambahnya pelan. 

Radiksa terdiam. Keraguan menyelimuti hati, tapi ada sesuatu dalam nada suara Oma Mikaila, yang membuatnya tak sanggup untuk menolak. 

Perlahan, ia mengangguk, meski tahu beliau tak akan melihatnya. "Iya... Aa pulang sekarang," ucapnya.

Beberapa detik berlalu, dan Radiksa merasakan dadanya kini terasa sesak. Apa yang ingin omanya bicarakan? Mengapa suara oma terdengar begitu berbeda kali ini? Seperti ada sesuatu yang berat, sesuatu yang mengganjal di antara mereka. Walaupun rasa cemas perlahan menguasai pikirannya, Radiksa tahu dia tak bisa menunda lebih lama. Tanpa membuang waktu, ia menutup telepon, berdiri, dan melangkah menuju pintu.

⊹ ࣪ ˖ ﹏š“Š﹏𓂁﹏⊹ ࣪ ˖ ﹏š“Š﹏𓂁﹏⊹ ࣪ ˖

Sesampainya di rumah, Radiksa merasakan keheningan, sama seperti sebelumnya. Rumah yang dulu penuh tawa kini terasa hampa dan asimg. Di ruang tamu, Bima duduk terdiam, matanya kosong dan ekspresinya tak bernyawa seolah kehadiran dia hanya kewajiban yang harus ditunaikan tanpa ada makna. Radiksa menahan napas, tak sanggup menatap ayahnya lebih lama. Dengan langkah cepat, ia menuju ruang makan, tempat oma menunggunya.

Oma Mikaila dengan senyum lembut yang selalu mampu menghapus segala kegelisahan, menyambut Radiksa dengan pelukan hangat. 

"Aa... Oma kangen banget sama kamu," ujarnya, suara itu penuh dengan kasih sayang, begitu tulus, sesuatu yang hampir tak pernah Radiksa rasakan dari ayahnya.

Setelah berbincang-bincang tentang kehidupan Radiksa di luar sana dan setelah mengajak cucunya makan bersama, Oma Mikaila dengan hati-hati mengeluarkan sebuah lukisan tua yang warnanya memudar termakan usia, namun keindahannya tetap memikat. Lukisan itu menggambarkan dua sosok yang saling memandang dengan penuh cinta seakan dunia mereka hanya ada dalam momen itu. Radiksa menatapnya, mengenali salah satu wajah di lukisan—wajah ibunya semasa muda, penuh semangat dan harapan.

"Lukisan ini adalah karya terakhir ibumu," kata Oma Mikaila. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ada keteguhan di balik tatapannya. "Ini satu-satunya kenangan yang ibu tinggalkan untuk kita."

Dengan hati-hati, beliau mengusap permukaan lukisan itu sembari terus berbicara. "Sekarang lukisan ini mulai rusak… dan Oma takut, semua kenangannya akan ikut hilang."

Radiksa termangu, perasaannya berjejal di dada—cinta, beban, dan ketakutan saling bertubrukan tanpa arah. Ia tahu betapa pentingnya lukisan itu bagi Oma Mikaila, dan ia juga tahu: jika ia gagal, Bima tak akan segan menyalahkannya.

Tapi tatapan oma yang penuh harap seolah menghapus semua keraguan, membuat Radiksa tak lagi punya pilihan selain mengiyakan. Karena untuk menolak, ia tak sanggup

"Aa bantu cari pelukis terbaik untuk melukis ulang lukisan ini, Oma," ujar Radiksa, mencoba menepis keraguan dalam hatinya. 

Ia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "Aa akan berusaha menghidupkan kembali lukisannya, agar kenangan ibu tak hanya tersimpan dalam gambar… tapi juga di dalam hati kita semua."

Radiksa terdiam sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. Dalam hati, ia mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar soal lukisan. Ini tentang menjaga kenangan, dan mungkin… menyelami rahasia yang selama ini tersembunyi di dalamnya.

Malam itu, setelah membicarakan soal lukisan, Radiksa melangkah pelan ke halaman belakang rumah. Langit di atasnya tampak gelap, dan sisa-sisa hujan masih menggantung di udara, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan dinginnya malam. Ia mendongak, menatap bintang-bintang yang samar di balik awan. Langit tampak begitu luas, namun dirinya terasa kecil—terjebak di antara dua dunia: masa lalu yang terus menghantuinya, dan masa depan yang penuh ketidakpastian.

Tiba-tiba, kenangan buruk datang lagi seperti gelombang pasang, deras dan tak terelakkan. Kecelakaan yang mengubah segalanya. Suara mobil melaju kencang, klakson memekakkan telinga, dan teriakan Ibu—suara terakhir yang ia dengar darinya. Semua kembali berputar di kepala, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Ia ingat tubuhnya membeku di trotoar. Terlalu lambat untuk bertindak, terlalu terlambat untuk menyelamatkan.

Dan kemudian, suara Bima mengiringi ingatannya, persis seperti tadi. Suaranya lebih tajam dari bunyi rem mobil yang menggesek aspal, lebih memukul daripada pemandangan tubuh ibunya yang tergeletak di jalan.

"Kamu yang seharusnya ada di sana, bukan ibumu!"

Kata-kata Bima menghantam seperti petir, mengguncangnya hingga ke dasar hati. 

Radiksa tahu, sejak hari itu, yang hilang bukan hanya sosok seorang ibu, melainkan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Ia kehilangan tempat berpulang, kehilangan hangatnya pelukan, kehilangan laki-laki yang dulu ia panggil ayah.

Tatapan Bima berubah menjadi dingin, asing, tak lagi mengenalinya. Seperti dinding bisu yang menolak disentuh, tak memberi ruang untuk menjelaskan, apalagi memaafkan. 

Setiap kata yang terucap dari bibir ayahnya terdengar seperti vonis, seolah-olah keberadaan Radiksa sendiri adalah bukti nyata penyebab dari semua penderitaan ini.

Radiksa menunduk, ia menggenggam rerumputan basah di bawah jemarinya. Rasa bersalah terus membebani selama bertahun-tahun. Ia mencoba, berulang kali, untuk menjembatani jarak yang memisahkan dirinya dengan Bima, tapi selalu gagal. Setiap percakapan mereka berakhir dengan keheningan, jeda panjang yang membuat Radiksa merasa tak diinginkan, seperti bayangan yang tak pernah terlihat.

Ia mendongak lagi, menatap bintang-bintang yang seakan menertawakannya dari kejauhan.

"Bagaimana caranya aku bisa memperbaiki semua ini? Bagaimana caranya aku bisa diterima lagi?" gumamnya lirih.

Tapi seperti malam-malam sebelumnya, langit hanya memberinya satu jawaban: diam. Keheningan itu menusuk, dingin, seperti menegaskan bahwa sebagian pertanyaan memang tak perlu dijawab.

Radiksa menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak yang mengendap di dadanya. Namun, malam ini terasa berbeda. Saat ia menatap langit lebih lama, pikirannya mengambang menuju sesuatu yang nyaris terlupakan—sebuah harapan kecil, kemungkinan yang dulu pernah ia abaikan.

"Mungkin aku harus berhenti mencari maaf dari ayah… dan mulai belajar memaafkan diriku sendiri," bisiknya, seolah berbicara pada luka yang tak lagi ingin disembunyikan.

Pikiran itu membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan. Lukanya memang belum sembuh, dan hubungannya dengan Bima masih terasa jauh. Ada satu hal yang kini ia pahami: ia tak bisa kembali ke masa lalu. Tetapi, jika cukup berani untuk memulai, ia bisa membuka jalan menuju masa depan.

Langit malam tetap sama. Hanya saja kali ini Radiksa melihatnya dengan cara yang berbeda. Di antara gelap dan awan yang bergerak perlahan, bintang-bintang tetap ada. Mereka tak pernah hilang, hanya tertutup untuk sementara. Dan di dalam dirinya, sebuah suara berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

"Mungkin aku juga seperti itu... aku hanya perlu sedikit waktu untuk kembali terlihat."

⊹ ࣪ ˖ ﹏š“Š﹏𓂁﹏⊹ ࣪ ˖ ﹏š“Š﹏𓂁﹏⊹ ࣪

Keesokan harinya, sepulang dari kampus, Radiksa kembali ke kost dengan satu misi di benaknya: menemukan pelukis yang bisa memperbaiki lukisan ibunya.

Ia langsung membuka laptop, mulai berselancar di internet, menjelajahi forum-forum seni, hingga menghubungi beberapa teman untuk bertanya. Namun sejauh itu, usahanya belum membuahkan hasil.

Sebagian besar hanya merekomendasikan pelukis komersial—profesional, memang, tapi terasa terlalu umum. Sementara Radiksa tahu, lukisan ibunya membutuhkan lebih dari sekadar keterampilan. Ia butuh seseorang yang mampu memberi sentuhan personal, yang bisa meresapi makna di balik tiap goresan.

Di tengah rasa frustrasi, salah satu sahabatnya mengirim pesan.

——————————

iMessage

Raigan: Coba cek pameran seni di galeri Artma

Raigan: Cenah aya karya-karya unik di ditu

Raigan: Mudah-mudahan atuh aya petunjuk

Lokasi di? 

Raigan: Buahbatu, deket perpus Pak Yayat. 

Okei. Nuhun 

——————————

Radiksa langsung bangkit, mengenakan jaket, dan tanpa pikir panjang pergi ke galeri itu.

Galeri Artma terletak di ujung jalan kecil yang cukup sepi. Begitu melangkah masuk, ia disambut oleh suasana hangat, meski pencahayaannya redup. Karya-karya seni terpajang di sepanjang dinding, memancarkan berbagai emosi—dari keceriaan hingga kesedihan mendalam.

Ia berjalan perlahan, membiarkan matanya menjelajah satu per satu lukisan, mencari sesuatu yang bisa menarik perhatian. Hingga langkahnya terhenti di depan sebuah lukisan.

Lukisan itu berbeda. Sapuan warnanya lembut, namun menyimpan energi yang nyaris terasa hidup. Ada kehangatan terasa nyata, seolah menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Lukisan itu mengingatkan Radiksa pada karya di rumah oma, lukisan ibu yang selalu memberinya rasa tenang setiap kali dipandang.

Ia melangkah lebih dekat, menatap lukisan itu seakan berharap bisa memahami cerita yang tersembunyi di balik setiap sapuan warnanya. 

"Luar biasa, ya?" 

Suara seorang pria tua—penjaga galeri—tiba-tiba terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Radiksa menoleh dan sekilas melihat nama di seragamnya: Cecep.

"Iya… lukisan ini seperti punya nyawa," ucap Radiksa, kemudian menatap kembali karya itu, lalu bertanya dengan nada penasaran. "Siapa pelukisnya, Pak?"

Pak Cecep tersenyum samar. "Pelukisnya anonim. Nggak ada yang tahu siapa dia."

Radiksa mengernyit, jelas tak puas dengan jawabannya. "Anonim? Tapi ini 'kan karya luar biasa. Nggak mungkin nggak ada yang tahu siapa pelukisnya. Bapak yakin nggak tahu?"

Pak Cecep kini menggeleng pelan, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Lukisan ini tiba-tiba muncul di depan galeri kami suatu malam, dibungkus kain. Tanpa nama, tanpa catatan apa pun. Ajaibnya, ada beberapa orang yang melihat lukisan ini dan mereka merasa terhubung, seperti kamu salah satunya."

Masih diliputi rasa ingin tahu, Radiksa kembali menatap lukisan itu, kali ini lebih lama. Ada sesuatu yang membungkusnya, bukan hanya cat dan kanvas, tapi juga rasa. 

"Pak…" ujarnya pelan, tanpa mengalihkan pandangan. "Lukisan ini satu-satunya? Nggak ada karya lain dari pelukis yang sama?"

"Ini satu-satunya yang ada di sini." Pak Cecep ikut memandangi lukisan, matanya seolah larut dalam kenangan yang tak ia bagi. Ia menarik napas perlahan sebelum melanjutkan, "Tapi ada rumor… konon pelukis ini hanya menciptakan karya untuk mereka yang benar-benar membutuhkannya." Ia menoleh pada Radiksa. "Kalau hatimu cukup terbuka, mungkin kamu akan menemukannya sendiri."

Radiksa tercenung. Kata-kata Pak Cecep terasa seperti teka-teki, atau mungkin seperti undangan. 

"Pak, ini beneran nggak ada petunjuk sama sekali?" desak Radiksa, ia semakin penasaran dibuatnya.

Pak Cecep tampak berpikir sejenak, tak lama kemudian menunjuk sudut bawah lukisan. Di sana, tersembunyi hampir tak terlihat, terdapat sebuah simbol melingkar dengan ukiran nama Karasa Artmerta terpatri halus di tengahnya.

"Mungkin ini bisa membawamu pada jawabannya," ucapnya pelan. "Banyak yang bertanya, tapi sejauh ini, hanya segelintir orang bisa mengungkap arti simbol itu."

Radiksa menatap simbol itu dengan saksama. Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya—seolah lukisan ini, atau pelukisnya, sedang memanggilnya untuk memulai sebuah perjalanan baru.

"Terima kasih, Pak," ucap Radiksa akhirnya. "Sepertinya saya harus mencari tahu lebih jauh."

Pak Cecep mengangguk. Kali ini, ia tersenyum ramah, berbeda dari sebelumnya, senyum yang mengandung sesuatu, entah harapan atau rahasia. Matanya berbinar, menyiratkan lebih dari yang ia ucapkan.

"Semoga berhasil, Nak," ujarnya lirih, suaranya mengandung ketulusan yang tenang. "Kadang, jawabannya ada di tempat yang nggak kamu duga."

Radiksa melangkah keluar dari galeri setelah berpamitan. Namun, langkahnya terasa berat, seakan ada beban tak kasatmata yang mengikat pergelangan kakinya. Tas selempang tergantung erat di tangan kanan, sementara tangan kirinya tersembunyi di dalam saku jaket, mencari kehangatan di tengah udara malam yang menusuk. Suasana di luar begitu sunyi—hanya suara langkahnya yang menggema di trotoar kosong, menambah kesan hampa, merayap ke dalam hati.

Di benaknya, simbol kecil di sudut lukisan itu terus berputar, sulit ia enyahkan. Kata-kata Pak Cecep, pria tua penjaga galeri, kembali terngiang. "Kalau hatimu cukup terbuka, mungkin kamu akan menemukannya sendiri." Kalimat itu terdengar seperti isyarat tersembunyi, menunggu untuk ditelusuri.

Semakin jauh ia melangkah, rasa ingin tahunya justru semakin membesar—seperti api yang menyala pelan, tapi tak kunjung padam. Tak ada petunjuk jelas, hanya secercah penasaran yang terus membara, mengusik tanpa henti.

"Siapa sebenarnya pelukisnya?" pikirnya. "Apa arti simbol Karasa Artmerta? Sebuah nama? Atau sesuatu yang lebih dari itu?"

Pertanyaan-pertanyaan itu menggulung dalam kepala, menjalar ke seluruh pikiran, hingga semua berpusat pada satu titik yang menuntut jawaban.

Malam semakin larut, angin malam bertambah dingin. Satu hal yang kini terasa pasti: perjalanan ini baru saja dimulai. Sebuah misteri mengintai di setiap langkah, menunggu untuk dipecahkan. Dan Radiksa tahu, ia tak bisa mengabaikannya. Teka-teki ini telah menjeratnya—dan apa pun risikonya, ia akan terus mencari.


═════════•★•═════════

BERSAMBUNG



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer