Dalam Cerita Samasta Lara

Chapter I – ‘Prolog’




















═════════•★•═════════


"Tahu nggak, apa yang paling kubenci dari dunia ini?" 

Radiksa bertanya pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya tenggelam dalam keheningan malam di kawasan Punclut—Puncak Ciumbuleuit, tempat tinggi yang seolah berdiri sebagai saksi bisu pergulatan batinnya. Dari tempatnya duduk, kota Bandung di bawah tampak seperti lukisan hidup. Gemerlap lampu-lampu tersebar acak, membentuk pola indah sekaligus menyimpan kesunyian.

Tempat itu adalah pelariannya. Sepotong dunia kecil yang selalu ia datangi saat kenyataan terasa berat untuk ditanggung sendiri. 

Radiksa tak menanti jawaban. Hanya menumpahkan isi hati pada malam, satu-satunya yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.

Ia melanjutkan dengan suara serak. "Ketika dilahirkan, namun kehadirannya tak pernah diinginkan." Getar suaranya membawa getir, seperti luka lama yang dibiarkan menganga, menolak disembuhkan. 

Matanya kosong, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat. Dalam diam, ada perang tak seimbang di dalam dirinya. Antara kenangan dan kenyataan, antara harapan yang patah dan dendam yang tak tahu harus ditujukan pada siapa. Semua suara dari masa lalu bergaung tanpa ampun di kepalanya. 

Pada titik ini, Radiksa bukan lagi sosok penuh harap. Ia hanya ingin didengar, sebelum akhirnya tenggelam sepenuhnya ke dalam gelap yang selama ini memeluknya diam-diam.

"Ketika tempat yang kita anggap rumah... ternyata tidak ramah untuk kita tinggali." Ia menggigit bibirnya, menahan napas sesaat sebelum kembali berbicara. "Ruang yang seharusnya melindungi justru menjadi sumber luka. Tempat di mana tangis lebih sering terdengar daripada tawa."

Senyuman kecil terlukis di wajah, sebuah senyum yang sama sekali tidak menyiratkan kebahagiaan. Hanya ada kehampaan dan sisa-sisa amarah tak terucapkan. 

"Lalu saat keluarga, sosok yang mestinya jadi sandaran, justru menjelma badai dan meruntuhkan segalanya... saat itulah aku pergi," bisiknya pelan, seolah setiap kata adalah beban. 

Radiksa menunduk, menatap kakinya yang menjuntai di tepi jurang kecil. Ia menarik napas dalam, berusaha meredam isak yang mendesak keluar.

"Aku pergi membawa luka."

Ia terdiam sejenak. Kedua tangannya bertaut di atas pangkuan, tak bergerak, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin pecah dari dalam dirinya. Jemarinya tampak bergetar, dan napasnya tertahan. Ia duduk kaku, seperti tahu betul bahwa jika ia sedikit saja lengah, semua yang ia tahan akan runtuh tanpa bisa dikendalikan.

"Luka itu... tak pernah benar-benar sembuh," imbuhnya, nyaris tak terdengar.

Untuk pertama kalinya malam itu, nada dalam suaranya tiba-tiba berubah. Tidak lagi sepenuhnya getir. Ada secercah hangat yang mulai merayap, walau samar dan rapuh.

"Meski aku pergi dalam kehancuran, aku justru menemukan sesuatu." Ia menoleh perlahan, kemudian menambahkan dengan suara yang lebih lembut. "Atau lebih tepatnya, seseorang."

Pandangan Radiksa bertemu dengan sepasang mata di sampingnya. Mata yang sejak tadi menatapnya penuh cemas dan perhatian—tak pernah pergi, bahkan saat ia tenggelam dalam keheningan terkelamnya.

Perlahan, Radiksa meraih tangan di sebelahnya. Genggaman itu gemetar, tak sempurna. Ia tahu dirinya bukan penenang ulung. Tapi setidaknya, lewat genggaman itu, ia ingin memberi sesuatu yang tak pernah ia miliki: rasa aman.

"Aku menemukanmu," ungkapnya pelan, seakan membisikkan rahasia kepada semesta.

Ia menatap mata itu dalam-dalam, lalu mengangguk kecil. "Dan aku yakin... menemukanmu bukanlah suatu kebetulan, melainkan takdir. Takdir yang mengajarkan aku untuk bertahan, untuk menjadi lebih kuat. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk melindungimu, untuk menyayangimu, untuk selalu berada di sisimu."

Genggaman Radiksa mengerat, seolah takut kehilangan sosok yang kini menjadi poros dunianya. Matanya kini penuh dengan kejujuran, meski di dalamnya masih ada sedikit keraguan sisa-sisa ketakutan akan kehilangan lagi.

"Jadi... jangan pergi, ya?"

Hening menyelimuti mereka, sejenak menggantikan segala keraguan. Angin malam berembus pelan, membawa dingin yang justru menenangkan. Tak perlu ada kata-kata. Genggaman tangan mereka sudah cukup menjadi jawaban. 

Malam itu, di bawah langit Bandung yang berhiaskan bintang dan lampu kota, dua hati penuh luka akhirnya menemukan kehangatan. Keheningan itu kini bukan lagi tanda kesepian, melainkan pengertian. 

Di sana, mereka tahu; mereka tak lagi sendiri.


═════════•★•═════════

BERSAMBUNG


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer